kirim Berita atau artikel anda ke email: jazirahudin@gmail.com

Home » , » MENGHINDARI SIFAT NIFAQ

MENGHINDARI SIFAT NIFAQ

Written By DASINOVA on Rabu, 02 Juli 2014 | 06.00


Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah kapan dan dimanapun kita berada, dengan senantiasa seoptimal mungkin mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, baik saat sepi sendiri maupun saat ramai bersama manusia, karena tidak ada hal sekecil apapun yang bisa kita sembunyikan dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf [50] : 16-18)
يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At Taghaabun [64] : 4)
Keyakinan yang kuat bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi apa yang kita lakukan, bahkan mengetahui apa yang terbersit dalam hati kita, akan melahirkan setidaknya dua sikap. Sikap pertama adalah, sikap ihsan dalam beribadah kepada Allah.
Saat Rasulullah saw ditanya tentang makna ihsan oleh malaikat Jibril, beliau saw menjawab,
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاك
“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah, kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam aspek yang luas, seluruh kehidupan kita adalah ibadah. Karena itu sikap ihsan ini akan tercermin bukan hanya saat kita shalat, namun juga saat kita bekerja kita tidak akan berani curang, saat kita berbicara kita tidak akan berdusta, saat kita menjalankan suatu amanah kita tidak akan mencari celah untuk khianat karena semua itu diketahui Allah dan akan kita pertanggungjawabkan kelak.
Sikap kedua yang muncul dari keyakinan kita akan pengawasan Allah Ta’ala adalah sikap berani dalam menampilkan identitas keislaman kita. Berani memegang komitmen untuk senantiasa ta’at kepada Allah Ta’ala di mana saja kita berada.
Abu Dzar r.a berkata, “Telah bersabda kepadaku Rasulullah saw:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
'Bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada. Dan iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya, serta pergauilah manusia dengan akhlaq yang baik'.” (HR. Imam Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan)
Islam menuntut ketaqwaan dimana saja kita berada, di masjid, di luar masjid, di kantor, di pasar, di gedung wakil rakyat, juga di gedung-gedung pemerintah.
Sungguh, di antara jenis manusia terburuk adalah mereka yang 'bermuka dua'. Yaitu, mereka yang menampakkan satu identitas pada kelompok tertentu, dan menunjukkan identitas yang lain pada kelompok lainnya. Sebagaimana disebutkan oleh RasuluLlah saw :
إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ
“Sesungguhnya, termasuk orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka lain.” (HR. Muslim).
Salah satu sifat orang munafiq adalah menjilat manusia untuk mengharapkan keridhaan mereka dari pada keridhaan Allah Ta’ala. Allah mengingatkan akan bahaya mereka dalam surat Al Munafiqun, ayat 4:
وإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?
Kaum munafiqin ini pandai bersilat lidah, namun kata-kata mereka sesungguhnya hampa dan tidak bermanfaat, karena kata-kata mereka bukan lahir dari keimanan yang kokoh kepada Allah, namun muncul dari syahwat kepada dunia ini.
Mereka yang bermuka dua dan mudah berdusta ini, tidak layak dijadikan teman setia apalagi sebagai pemimpin. Jika mereka telah terlanjur menjadi pemimpin, tidaklah patut bagi kita mendukung perbuatan dan kedustaan mereka.
Ka’ab ibn ‘Ujrah berkata, “Kami pernah bepergian bersama Rasulullah saw, dan saat itu kami sembilan orang. Maka RasuluLlah saw bersabda:
إِنَّهُ سَتَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ- وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sesungguhnya akan muncul sesudahku para pemimpin (pendusta). Barangsiapa menganggap benar kedustaan mereka dan membantu kezhaliman mereka, maka ia tidak termasuk dari golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. Dan ia tidak akan bertemu denganku di telaga al-haudh (di surga). Dan barangsiapa yang tidak menganggap benar kedustaan mereka dan tidak membantu kezhaliman mereka, maka ia termasuk dari golonganku dan aku termasuk golongannya. Dan ia akan bertemu denganku di telaga al-haudh (di surga).” (HR. An-Nasaai, dishahihkan oleh al-Albani[1])
Imam Bukhariy meriwayatkan bahwa:
قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا
“Manusia berkata kepada Ibnu ‘Umar, kami memasuki (rumah) penguasa kami, kemudian kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang kami katakan tatkala kami keluar dari (rumah) mereka ( penguasa). Ibnu ‘Umar berkata: adalah kami menghitungnya sebagai (sikap) nifaq (munafiq).
Seseorang yang senantiasa merasa diawasi Allah juga akan berani mengatakan kebenaran walaupun didepan penguasa. Imam Al-Hasan Al-Bashri, seorang tabi’in besar berani menyampaikan kebenaran walaupun dihadapan penguasa yang kejam, al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Ketika al-Hajjaj membangun suatu bangunan di daerah Wasith untuk kepentingan pribadinya, dan ketika bangunan tersebut rampung, al-Hajjaj mengajak orang-orang agar keluar untuk bersenang-senang bersamanya dan mendo’akan keberkahan untuknya. Al-Hasan tidak ingin kalau kesempatan berkumpulnya orang-orang ini lewat begitu saja. Maka dia keluar menemui mereka untuk menasehati, mengingatkan, mengajak zuhud dari gelimang harta dunia dan menganjurkan mereka supaya mencari keridlaan Allah Azza wa Jalla.
Ketika al-Hasan telah sampai di tempat, dan melihat orang-orang berkumpul mengelilingi istana yang megah, terbuat dari bahan-bahan yang mahal, dikelilingi halaman yang luas dan sepanjang bangunan dihiasi dengan pernik-pernik, Al-Hasan berdiri di depan mereka dan memberi peringatan, di antara yang beliau ucapkan adalah, "Kita telah melihat apa yang dibangun oleh manusia paling keji ini tidak ubahnya seperti apa yang kita temukan pada masa Fir’aun yang telah membangun bangunan yang besar dan tinggi, kemudian Allah membinasakan Fir’aun dan menghancurkan apa yang dia bangun dan dia kokohkan itu. Mudah-mudahan al-Hajjaj mengetahui bahwa penduduk langit telah mengutuknya dan bahwa penduduk bumi telah menipunya." Al-Hasan terus berbicara dengan gaya seperti ini, sehingga salah seorang yang hadir merasa khawatir kalau al-Hajjaj akan menyiksanya. Karena itu, orang tadi berkata kepadanya, "Cukup wahai Abu Sa’id! cukup.!" Lalu Al-Hasan berkata kepadanya,
لقد أخذ الله الميثاق على أهل العلم ليبيننه للناس ولا يكتمونه
"Allah telah berjanji kepada Ahli ilmu, bahwa Dia akan menjelaskannya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya."[2]
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita sikap ihsan dan syaja’ah (berani) dan menjauhkan kita dari sifat nifaq.




[1] Shahih wa Dhaif Sunan an-Nasaai No. 4207
[2] http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihattokoh&id=71.  Kisah ini juga penulis dapati di kitab Shuwarun Min Hayâti at Tâbi’in karya Dr. Abdurrahman Raf’at Basya tanpa menyebutkan sanadnya.


Disampaikan Oleh: Muhammad Nasyiruddin (Staf IKADI Aceh Singkil)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template | Pemersatu Ummat
Copyright © 2011. Saluran Pemersatu Ummat - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by nasyir
singkilhebat Proudly powered by Blogger