Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah kapan dan dimanapun kita berada, dengan senantiasa seoptimal mungkin mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya, baik saat sepi sendiri maupun saat ramai bersama manusia, karena tidak ada hal sekecil apapun yang bisa kita sembunyikan dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ
وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ
عَتِيدٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya. (Yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang
duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang
selalu hadir.” (QS. Qaf [50] :
16-18)
يَعْلَمُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dia
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu
rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi
hati.” (QS. At Taghaabun [64] : 4)
Keyakinan yang kuat bahwa Allah Ta’ala
selalu mengawasi apa yang kita lakukan, bahkan mengetahui apa yang terbersit
dalam hati kita, akan melahirkan setidaknya dua sikap. Sikap pertama adalah, sikap ihsan dalam beribadah kepada Allah.
Saat Rasulullah saw ditanya tentang makna
ihsan oleh malaikat Jibril, beliau saw menjawab,
أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاك
“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat Allah, kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR. Bukhari &
Muslim)
Dalam aspek yang luas, seluruh kehidupan
kita adalah ibadah. Karena itu sikap ihsan ini akan tercermin bukan hanya saat
kita shalat, namun juga saat kita bekerja kita tidak akan berani curang, saat
kita berbicara kita tidak akan berdusta, saat kita menjalankan suatu amanah
kita tidak akan mencari celah untuk khianat karena semua itu diketahui Allah
dan akan kita pertanggungjawabkan kelak.
Sikap kedua yang muncul
dari keyakinan kita akan pengawasan Allah Ta’ala adalah sikap berani dalam
menampilkan identitas keislaman kita. Berani memegang komitmen untuk senantiasa
ta’at kepada Allah Ta’ala di mana saja kita berada.
Abu Dzar r.a berkata, “Telah bersabda kepadaku Rasulullah saw:
اتَّقِ
اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
'Bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada. Dan iringilah
keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya, serta
pergauilah manusia dengan akhlaq yang baik'.” (HR. Imam Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hasan)
Islam menuntut ketaqwaan dimana saja kita
berada, di masjid, di luar masjid, di kantor, di pasar, di gedung wakil rakyat,
juga di gedung-gedung pemerintah.
Sungguh, di antara jenis manusia terburuk
adalah mereka yang 'bermuka dua'. Yaitu, mereka yang menampakkan satu identitas
pada kelompok tertentu, dan menunjukkan identitas yang lain pada kelompok
lainnya. Sebagaimana disebutkan oleh RasuluLlah saw :
إِنَّ
مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ
وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ
“Sesungguhnya,
termasuk orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua yang mendatangi
mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka lain.” (HR. Muslim).
Salah satu sifat orang munafiq adalah
menjilat manusia untuk mengharapkan keridhaan mereka dari pada keridhaan Allah
Ta’ala. Allah mengingatkan akan bahaya mereka dalam surat Al Munafiqun, ayat 4:
وإِذَا
رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ
كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ
فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan
kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka
adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan
yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) Maka
waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah
mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?”
Kaum munafiqin ini pandai bersilat lidah,
namun kata-kata mereka sesungguhnya hampa dan tidak bermanfaat, karena kata-kata
mereka bukan lahir dari keimanan yang kokoh kepada Allah, namun muncul dari
syahwat kepada dunia ini.
Mereka yang bermuka dua dan mudah berdusta
ini, tidak layak dijadikan teman setia apalagi sebagai pemimpin. Jika mereka
telah terlanjur menjadi pemimpin, tidaklah patut bagi kita mendukung perbuatan
dan kedustaan mereka.
Ka’ab ibn ‘Ujrah berkata, “Kami pernah bepergian bersama Rasulullah
saw, dan saat itu kami sembilan orang. Maka RasuluLlah saw bersabda:
إِنَّهُ
سَتَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى
ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ-
وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ
فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sesungguhnya akan muncul sesudahku para pemimpin (pendusta).
Barangsiapa menganggap benar kedustaan mereka dan membantu kezhaliman mereka,
maka ia tidak termasuk dari golonganku dan aku tidak termasuk golongannya. Dan
ia tidak akan bertemu denganku di telaga al-haudh (di surga). Dan barangsiapa
yang tidak menganggap benar kedustaan mereka dan tidak membantu kezhaliman
mereka, maka ia termasuk dari golonganku dan aku termasuk golongannya. Dan ia
akan bertemu denganku di telaga al-haudh (di surga).” (HR. An-Nasaai, dishahihkan oleh al-Albani[1])
Imam Bukhariy meriwayatkan bahwa:
قَالَ
أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا فَنَقُولُ لَهُمْ
خِلَافَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ قَالَ كُنَّا نَعُدُّهَا
نِفَاقًا
“Manusia berkata kepada Ibnu ‘Umar, kami memasuki (rumah)
penguasa kami, kemudian kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang
kami katakan tatkala kami keluar dari (rumah) mereka ( penguasa). Ibnu ‘Umar berkata:
adalah kami menghitungnya sebagai (sikap) nifaq (munafiq).”
Seseorang yang senantiasa merasa diawasi
Allah juga akan berani mengatakan kebenaran walaupun didepan penguasa. Imam
Al-Hasan Al-Bashri, seorang tabi’in besar berani menyampaikan kebenaran
walaupun dihadapan penguasa yang kejam, al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Ketika
al-Hajjaj membangun suatu bangunan di daerah Wasith untuk kepentingan
pribadinya, dan ketika bangunan tersebut rampung, al-Hajjaj mengajak
orang-orang agar keluar untuk bersenang-senang bersamanya dan mendo’akan
keberkahan untuknya. Al-Hasan tidak ingin kalau kesempatan berkumpulnya
orang-orang ini lewat begitu saja. Maka dia keluar menemui mereka untuk
menasehati, mengingatkan, mengajak zuhud dari gelimang harta dunia dan
menganjurkan mereka supaya mencari keridlaan Allah Azza wa Jalla.
Ketika al-Hasan telah sampai di tempat, dan
melihat orang-orang berkumpul mengelilingi istana yang megah, terbuat dari
bahan-bahan yang mahal, dikelilingi halaman yang luas dan sepanjang bangunan
dihiasi dengan pernik-pernik, Al-Hasan berdiri di depan mereka dan memberi
peringatan, di antara yang beliau ucapkan adalah, "Kita telah melihat apa yang dibangun oleh manusia paling keji ini
tidak ubahnya seperti apa yang kita temukan pada masa Fir’aun yang telah
membangun bangunan yang besar dan tinggi, kemudian Allah membinasakan Fir’aun
dan menghancurkan apa yang dia bangun dan dia kokohkan itu. Mudah-mudahan
al-Hajjaj mengetahui bahwa penduduk langit telah mengutuknya dan bahwa penduduk
bumi telah menipunya." Al-Hasan terus berbicara dengan gaya seperti
ini, sehingga salah seorang yang hadir merasa khawatir kalau al-Hajjaj akan
menyiksanya. Karena itu, orang tadi berkata kepadanya, "Cukup wahai Abu Sa’id! cukup.!" Lalu Al-Hasan berkata
kepadanya,
لقد أخذ الله الميثاق على أهل العلم ليبيننه للناس ولا
يكتمونه
"Allah
telah berjanji kepada Ahli ilmu, bahwa Dia akan menjelaskannya kepada manusia
dan tidak menyembunyikannya."[2]
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada
kita sikap ihsan dan syaja’ah (berani) dan menjauhkan kita dari sifat nifaq.
[2] http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihattokoh&id=71.
Kisah ini juga penulis dapati di kitab Shuwarun Min Hayâti at Tâbi’in
karya Dr. Abdurrahman Raf’at Basya tanpa menyebutkan sanadnya.
Disampaikan Oleh: Muhammad Nasyiruddin (Staf IKADI Aceh Singkil)

0 komentar:
Posting Komentar