![]() |
| Muhammad Nasyiruddin |
Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) pernah berkata kepada seseorang: “Berapa usiamu?” Orang itu menjawab: “60 tahun.” Al-Fudhail berkata: “Berarti sejak 60 tahun engkau berjalan menuju Tuhanmu dan hampir-hampir engkau akan sampai pada-Nya”.
Mendengar hal itu, orang tersebut berkata: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ
Al-Fudhail berkata lagi:
أَتَعْرِفُ
تَفْسِيرَهُ؟، تَقُولُ أَنَا لِلَّهِ عَبْدٌ وَإِلَيْهِ رَاجِعٌ، فَمَنْ عَلِمَ
أَنَّهُ لِلَّهِ عَبْدٌ، وَأَنَّهُ إِلَيْهِ رَاجِعٌ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ
مَوْقُوفٌ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَسْئُولٌ،
وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَسْئُولٌ، فَلْيُعِدَّ لِلسُّؤَالِ جَوَابًا
“Tahukah
engkau tafsir dari kalimat yang engkau ucapkan? (tafsirnya adalah) engkau
katakan: bahwa aku adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka
barang siapa yang mengetahui bahwa dia adalah hambanya Allah dan dia akan
kembali kepada-Nya, hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan dibangkitkan di
hadapan Allah kelak. Dan siapa yang tahu bahwa ia akan dibangkitkan, maka
hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya, dan siapa yang tahu ia akan
ditanya maka hendaklah ia mempersiapkan jawaban.”
Orang itu bertanya: “Lalu apa jalan
keluarnya?” Al-Fudhail menjawab: “Mudah.” “Apa itu?” tanya laki-laki tersebut.
Al-Fudhail berkata:
تُحْسِنُ
فِيمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى، فَإِنَّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيمَا بَقِيَ،
أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَبِمَا بَقِيَ
“Engkau
berbuat baik pada umurmu yang tersisa, niscaya akan diampuni bagimu apa yang
telah lewat, karena bila engkau berbuat jelek dengan umurmu yang tersisa engkau
akan disiksa karena kejelekan yang telah lalu dan yang akan engkau perbuat
dalam sisa umurmu.” (Jâmi`ul Ulum wal Hikam, 2/383, Mu’assasah ar Risalah, Maktabah
Syâmilah)
Sungguh banyak sekali perbuatan baik, dan
sungguh pendek usia manusia. Oleh sebab itu kita tidak boleh menganggap enteng
suatu perbuatan baik, namun demikian, ketika perbuatan baik yang satu
berbenturan dengan perbuatan baik yang lain, kita juga dituntut untuk
memprioritaskan mana yang lebih utama dilakukan.
Syara’ telah memberi
petunjuk pada kita bahwa kewajiban lebih utama dan paling dicintai Allah
dari yang sunnah, dan yang sunnah tentu jauh lebih utama dari yang mubah
(boleh). Dalam hadits qudsi disebutkan:
وَمَا
تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dan
tidaklah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku seorang Hamba-Ku dengan
sesuatu yang lebih aku sukai daripada dia menjalankan kewajibannya. Dan tidak
henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan
perbuatan-perbuatan sunnah nafilah hingga Aku mencintainya.” (HR. al Bukhari)
Begitu juga diantara kewajiban-kewajiban,
ada kewajiban yang lebih utama, kewajiban yang dengannya agama ini bisa tegak
dan terlaksana, kewajiban yang tidak sedikit kaum muslimin sekarang
mengabaikannya, kewajiban yang bila kita berdiam diri darinya maka kemaksiyatan
berkembang pesat, kewajiban yang bila dia tidak tegak maka ikatan Islam akan
lenyap satu ikatan demi satu ikatan, hingga akhirnya shalatpun jadi terabaikan
ditengah masyarakat. Rasulullah saw menyatakan hal ini dalam hadits riwayat
Imam Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad shahih:
لَتُنْقَضَنَّ
عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ
الصَّلَاةُ
“Ikatan-ikatan
Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang
bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah masalah
hukum (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat."
Oleh karena itu, para shahabat menjadikan
kewajiban tegaknya sistem pemerintahan Islam, yang dalam Islam disebut sistem
khilafah/imâmah/imâratul mukminîn sebagai kewajiban terpenting, bahkan mereka
sampai menunda pemakaman jasad Rasulullah saw demi tegaknya khilafah. Imam Ibnu
Hajar al Haytamy al Makki Asy Syâfi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya As Shawâ’iq Al Muhriqah juz 1 hal 25
menyatakan:
اِعْلَمْ
أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانَ اللهِ تَعَالٰى عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا
عَلٰى أَنَّ نَصْبَ الإمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ
جَعَلُوهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ
Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para shahabat r.a telah ber
ijma’ (sepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah
kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting.
Inilah kewajiban yang telah tertunda lebih
dari 89 tahun, yang menyebabkan hilangnya keberkahan hidup manusia, hilangnya
ketaatan kepada sebagian besar ketentuan-ketentuan Allah SWT. Adalah suatu
amal utama jika kita mengisi sisa-sisa umur kita dengan beraktivitas untuk
mewujudkannya, tentunya tanpa mengabaikan kewajiban yang lainnya. Semoga
harta dan anak-anak kita yang begitu menyita waktu dan perhatian kita, tidak
membuat kita lupa akan tanggung jawab ini.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ
وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ – اعوذ بالله من الشيطان الرجيم – وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي
تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ
ءَامِنُونَ
“Bukanlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian yang dapat
mendekatkan diri kalian kepada Kami; tetapi orang-orang yang beriman dan
beramal shalih, merekalah yang mendapatkan pahala yang berlipat ganda karena
apa yang mereka kerjakan. Dan mereka akan berada di tempat-tempat yang tinggi
(surga) dalam keadaan aman.” (QS. Saba : 37)
Disampaikan Oleh: Muhammad Nasyiruddin (Staf IKADI Aceh Singkil)

0 komentar:
Posting Komentar